Di Kabupaten Mahakam Ulu,yang
merupakan anak dari Kabupaten Kutai Barat,Kalimantan Timur terdapat Goa Sarang
Burung Walet hitam yang oleh suku kami,Dayak Bahau Busaang, dinamai Batoq Ayo atau Batoq
Ayau. Lokasi goa ini tepatnya berada di perbatasan Kecamatan Long Pahangai dan
Long Bagun. Banyak penduduk yang menggantungkan penghasilannya dari hasil goa
tersebut. Goa-goa ini dimiliki oleh perorangan atau keluarga. Dulu orang-orang
dayak khususnya Dayak Bahau melakukan perjalanan jauh ke gunung untuk menemukan
goa-goa yang merupakan tempat bersarang burung-burung walet hitam. Siapa yang
pertama kali menemukan goa, baik goa kecil maupun besar secara otomatis dialah
yang menjadi pemilik dari goa tersebut. Sampai hari ini sebagian dari penduduk
asli Dayak Mahakam Ulu menggantungkan penghasilannya pada hasil usaha sarang
burung walet. Di balik goa yang fenomenal ini terdapat cerita yang fenomenal
juga tentang asal-usul terjadinya Batoq Ayau.
Dulu Batoq Ayau sebelum berubah
menjadi batu, merupakan sebuah kampung suku Dayak yang sangat damai.
Penduduknya saling peduli satu sama lain.
Di kampung tersebut hiduplah
sepasang suami istri yang sudah lama menikah. Si suami bernama Uvat dan si
Istri bernama Buring. Sebagaimana pasangan suami-istri pada umumnya, mereka
sangat mendambakan kehadiran seorang anak di dalam keluarga mereka. Keinginan
tersebut mereka bawa di dalam doa. Tahun demi tahun berlalu,doa mereka tak
kunjung dikabulkan. Namun mereka tak menyerah.
Di dalam adat istiadat orang
bahau ada sepuah upacara yang dikenal dengan nama Dange/Dengaei. Upacara ini
merupakan acara yang diadakan setiap tahun untuk merayakan pesta perkawinan
adat dan pesta kelahiran anak secara adat dan besar-besaran. Uvat dan Buring
sudah menyaksikan Dange berkali-kali tanpa bisa ikut merayakannya. Uvat dan
Buring sedih sekali. Sendi-sendi mereka ngilu ketika mendengar agung (gong) dan
tuvung (gendang besar) yang dipukul ketika upacar berlangsung.
Pasangan-pasangan yang sedang melaksanakan pesta adat kelahiran anak mereka menari-nari
dengan riangnya sambil memeluk anak-anak mereka masing-masing. Tampak sangat
bahagia.
Buring bersedih hati dan mengajak
Uvat suaminya untuk pulang ke rumah. Dia tak sanggup menyaksikan orang-orang
lain yang memeluk anaknya dengan bahagia, sesuatu hal yang sangat dirindukan
oleh Buring. Mereka pun bergegas pulang. Sesampainya di rumah, Buring memberi
makan kucing peliharaannya di dapur. Sambil memberi makan kucingnya tiba-tiba
terlintas ide di pikirannya. Dia kemudian menemui Uvat dan menceritakan
keinginannya, Uvat menyetujui dan mereka mengenakan pakaian adat. Setelah
mengenakan pakaian adat, Buring kembali ke dapur, memeluk kucingnya dan
meletakkannya di dalam avat (tempat menggendong bayi,terbuat dari rotan dan
kayu,dihiasi oleh untaian manik-manik bermotif ukiran dayak). Si kucing
mengeong dengan sangat keras. Uvat kemudian mengikat kucing agar tak lepas dari
avat. Setelah berhasil menenangkan si kucing, Uvat dan Buring kemudian ke
tempat upacara Dange berlangsung. Mereka nampak sangat bahagia. Akhirnya
setelah sekian lama,kerinduan mereka untuk ikut menari-nari mengikuti alunan
musik dange terwujudkan. Orang-orang yang melihat kedatangan mereka tentu saja
sangat heran. Semua penduduk kampung tahu kalau Uvat dan Buring belum memiliki
anak, lalu anak siapa yang mereka gendong?. Para warga mulai bertanya-tanya
satu sama lain. Uvat dan Buring tidak peduli. Mereka berjalan dengan langkah
ringan dan memasuki awaaq (teras) tempat berlangsungnya upacara. Mereka mulai
menari dengan bahagia. Semakin lama alunan musik semakin cepat. Uvat dan Buring
pun menari dengan penuh semangat hingga tanpa mereka sadari pengikat kucing
dalam avat terlepas. Si kucing, ketika sadar pengikatnya terlepas
mengeong-ngeong dengan sangat keras dan kemudian meloncat dari avat. Penabuh
musik seketika berhenti menabuh, para penaripun berhenti. Semua terpaku melihat
isi dari avat Buring. Penonton pun menganga. Suasana seketika hening dalam
beberapa detik, kemudian sekonyong-konyong mereka secara bersamaan menertawakan
ulah Buring dan Uvat. Semua orang yang hadir di situ tertawa berkepanjangan. Mereka lupa kalau menertawakan binatang
merupakan hal lemaliiq (tabu) bagi suku
Dayak Bahau yang kalau dilanggar bisa kenlit (ketulahan). Tiba-tiba saja langit
berubah mendung dan tak lama kemudian turunlah hujan yang sangat lebat.
Penduduk kocar-kacir mencari tempat berlindung. Setelah beberapa lama hujan pun
berhenti. Namun tak lama kemudian hujan kembali turun, tapi kali ini bukanlah
hujan biasa melainkan hujan batu yang semakin lama semakin lebat. Pawang hujan
bahu membahu menyatukan kesaktian untuk menghentikan hujan batu yang semakin
lama semakin besar. Penduduk mulai panik. Wanita dan anak-anak mulai menjerit dan
menangis. Alih-alih berhenti, hujan batu malah semakin lebat. Keanehan pun
mulai terjadi. Suara tangisan mulai lengang di tengah hujan. Penduduk yang tadi
menangis dan menjerit-jerit perlahan-lahan berubah menjadi batu. Dalam waktu
yang singkat seisi perkampungan berubah menjadi batu semua termasuk Uvat dan
Buring.
Oleh karena itu di sana kita bisa
menemukan banyak batu-batu yang berbentuk manusia, kucing , beras dan
lain-lain. Goa-goa yang sekarang menjadi tempat bersarangnya burung walet
diyakini sebagai rumah-rumah penduduk kala itu.
Menertawakan hal-hal lucu atau
aneh dari binatang merupakan hal yang tabu bagi suku kami, dan itu berlaku
sampai hari ini. Dari cerita ini kita belajar bahwa apa yang sudah menjadi
aturan seharusnya tidak dilanggar. Karena setiap perbuatan akan menghasilkan
buahnya masing-masing. Perbuatan baik menghasilkan buah yang baik begitupun
sebaliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar