KISAH ITU
Oleh : Wawa Abeh
20 November 2010
“Mungkin aku yang ga pernah mencoba mengerti apa maumu” ujarku sambil mengetuk-ngetuk jari di meja.
“Jangan salahkan dirimu. Kamu sudah cukup banyak berkorban untuk kita,hanya saja aku yang ga bisa jadi yang terbaik buat kamu”jawabmu.
Klik,aku menutup telepon dan mengakhiri kisah kita sesaat setelah kata-kata itu terucap. Serbuan sms darimu tak lagi kupedulikan. Untuk apa?
*****
Lagu One Last Breath mengalun dari cellphoneku. Aku melirik ternyata nomor baru.
“Halo,” aku menjawab malas-malasan.
“Tolong jangan dimatikan. Aku hanya ingin bicara sebentar. Please,” mohon seseorang di ujung sana. Suaranya, sepertinya aku kenal.
“Oh...kamu. Mau ngomongin apa?” dengan nada sedikit kaget. Annoying rasanya tahu kamu masih saja menghubungiku.
“Please..jawab aku. Kenapa kamu tiba-tiba mematikan telpon saat itu dan tak lagi membalas smsku?”
“Aku ga tahu. Aku ga tahu mesti ngomong apa sama kamu. Kamu menyerah.”
“Menyerah apa maksud kamu?”
Aku terhenyak. Ternyata kamu tak memikirkan kata-kata yang kamu keluarkan di pembicaraan terakhir kita. Kamu tak tahu betapa itu cukup melukai hatiku, memupuskan harapanku, mematahkan perasaanku.
“Oh, oke. Aku pikir ga ada yang mesti dijelasin lagi. Kita sudah sama-sama dewasa, walaupun aku sering dianggap anak kecil sama kamu. Tapi aku cukup ngerti bagaimana menilai omongan orang yang sudah capek sama seseorang” ucapku sarkas.
“Maksudnya apa?” tanyamu.
Entah kenapa pertanyaanmu terdengar sangat bodoh dan memuakkan di telingaku. Dan aku terlalu lelah untuk memaparkan semuanya. Aku bukan wanita yang sanggup memaparkan segala yang kurasa. Aku lebih memilih memendam, karena setidaknya dengan begitu rasa kecewaku bisa diminimalisir.
*****
11 April 2010
Sore ini, kamu menggenggam tanganku dan menatap mataku dalam. Hari ini aku memang merasa ada yang lain di dirimu. Tak seperti sahabatku yang biasanya. Tapi apa itu? Aku tak mengerti sampai kamu mengatakan hal yang yang tidak pernah kuduga sebelumnya.
“Aku sayang kamu”katamu dengan suara bergetar.
Aku mengernyit, semua orang pasti menyayangi sahabatnya sendiri. Bagaimana bisa kita menjalin persahabatan selama ini kalau kita tidak saling menyayangi satu sama lain.
“Bukan, bukan rasa sayang yang biasa” kamu mencoba memperjelas, “aku menyayangimu melebihi rasa sayang seorang sahabat ke sahabatnya. Aku ingin kamu tak sekedar menjadi sahabatku. Boleh kan aku meminta kamu jadi pacarku.”
Aku bingung saat itu. Setelah lama terdiam,aku hanya bisa menganggukkan kepala. Kamu pun ikut terdiam.
“ Aku hanya ingin merajut masa depan bersama kamu. Setelah sekian lama bersamamu, rasanya aku ga rela kalau suatu saat nanti aku melihat kamu berjalan bergandengan tangan bersama orang lain. Aku benar-benar menyayangimu” kamu berbicara lirih sambil menatap ujung sepatumu.
*****
1 Desember 2010
Aku beranjak melupakanmu. Karena aku tahu aku ga akan mungkin bertahan bersama orang yang sudah menyerah menjadi yang terbaik untukku. Bagaimana bisa wanita sepertiku memperjuangkan perasaan hanya untuk lelaki yang lunglai berjuang.
Awalnya aku tak pernah mudah menyayangimu lebih dari sahabat. Tapi belajar menghargaimu dari ketulusan yang kamu punya. Dan kamu orang pertama yang kujadikan kekasih hanya bermodalkan keinginan untuk menghargai.
Aku tak benci pecundang, hanya saja aku tak bisa bersahabat dengan pecundang apalagi memacarinya. Seorang wanita, ya mungkin wanita sepertiku, butuh seorang lelaki pejuang, yang akan selalu berjuang menjadi yang terbaik walaupun dia tahu dia belum tentu merupakan lelaki yang terbaik dari sekian banyak lelaki lainnya.
Seorang pecundang akan menyerah ketika menemukan sedikit kendala yang akan memicu pertengkaran. Dia menghindarinya dan kalaupun tak bisa menghindar, dia akan menyerah. Dia juga gampang melupakan janji-janjinya. Tapi seorang pejuang, dia berjalan terus tak peduli apapun halangannya. Konsisten dengan kata-katanya. Pantang menyerah. Walaupun mungkin dia pernah merasa lelah dan akan menyerah tapi dia tak akan mudah berkata “aku ga bisa menjadi yang terbaik buat kamu”. Bukan, bukan begitu. Seorang pejuang akan berlari menjemput masalah, menghadapinya, menyelesaikannya dan kemudian melaluinya. Dan itu alasannya aku tak lagi membalas smsmu, aku muak terhadap diriku sendiri ketika berbicara dengan kamu. Dan maaf aku sedikit alergi sama kamu setelah tahu kamu seorang pecundang.
Kisah itu biarlah berlalu seiring terhapusnya kamu yang tak ingin kukenang dari hatiku.